Warganet di media sosial Twitter ramai membicarakan mengenai "Tanah Merah". Senin (6/3/2023) topik "Tanah Merah" menjadi trending di Twitter dengan dibicarakan lebih dari 16.000 kali. Sebagian besar pembicaraan warganet mengenai Tanah Merah berkaitan dengan tragedi kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara pada Minggu (5/3/2023). Lantas sebenarnya di mana lokasi Tanah Merah Jakarta dan bagaimana sejarahnya?
Tanah Merah milik negara HGB atas nama Pertamina Kawasan Tanah Merah merupakan sebutan wilayah yang meliputi tiga kelurahan yakni Rawa Badak Selatan, Tugu Selatan di Kecamatan Koja, serta Kelapa Gading Barat di Kecamatan Kelapa Gading. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976, Tanah Merah merupakan milik negara dengan status hak guna bangunan (HGB) atas nama Pertamina. Dikutip dari Kompas.com (11/1/2012) total tanah negara di Tanah Merah mencapai 153 hektar. Namun pada kenyataannya, area yang digunakan sebagai Depo Pertamina Plumpang hanya sekitar 70 hektar. Sisanya, sebanyak 83 hektar diokupasi oleh warga.
Namun pada kenyataannya, area yang digunakan sebagai Depo Pertamina Plumpang hanya sekitar 70 hektar. Sisanya, sebanyak 83 hektar diokupasi oleh warga. Menurut Kompas.id, Pertamina memiliki lahan di Tanah Merah sejak tahun 1968 dengan membelinya dari PT Mastraco. Pada tahun 1974 Pertamina mulai memagari tanah tersebut. Namun pada tahun 1980-an warga mulai banyak menghuni kawasan yang belum dimanfaatkan oleh Pertamina. Inventarisasi yang dilakukan pada tahun 1986 mencatat, ada 344 bangunan tumbuh di tanah itu dengan sebanyak 1.284 keluarga tinggal. Jumlah tersebut terus melonjak dari waktu ke waktu. Seiring dengan pertambahan penduduk, muncul sejumlah permasalahan antara Pertamina dan warga Tanah Merah. Di antaranya rencana penggusuran yang urung dilakukan.
Obyek vital tidak boleh ada permukiman Saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2012, Fauzi Bowo pernah menyampaikan bahwa seharusnya wilayah Tanah Merah tak boleh ada penduduk di sekitarnya. Sebab wilayah tersebut termasuk dalam obyek vital milik Pertamina, sehingga tidak boleh ada pemukiman di sekitarnya. ”Tidak hanya berbahaya bagi keamanan obyek vital itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakatnya,” kata Fauzi saat itu. Menurut Fauzi, Tanah Merah adalah zona pelindung bagi obyek vital Depo Pertamina Plumpang.
”Kita harus ingat kebakaran besar yang terjadi di depo Pertamina awal 2009 lalu. Apa jadinya jika depo ini terbakar dan meledak, sementara ada permukiman warga di sekitar,” kata dia. Kawasan Tanah Merah sebagai kawasan zona pelindung sebenarnya juga telah diputuskan oleh pemerintah pusat dan pernah dilontarkan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun masalah kependudukan di Tanah Merah sejak dulu tak pernah usai. Hunian di sekitar Tanah Merah membuat siapa saja bebas keluar-masuk kawasan tanpa penjagaan. Akibatnya riskan bagi pihak-pihak yang berniat tidak baik bisa menyusup dan bersembunyi di kawasan itu dengan bebas. Pada tahun 2008, Detasemen 88 Polri tercatat pernah menemukan sejumlah bahan peledak dan senjata api di Tanah Merah.
Jarak aman Pada tahun 2009 Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu Prijanto menyebut, jarak aman ideal antara depo dan pemukiman adalah 200 meter. Artinya, permukiman yang berjarak sekitar 50 meter dari depo yang didiami 7.400 keluarga seharusnya dibiarkan kosong atau dijadikan ruang terbuka hijau. Dampak temuan bahan peledak di Tanah Merah pada tahun 2008, sebenarnya pernah diusulkan untuk membangun kanal pembatas selebar 30-50 meter mengelilingi depo serta jalan inspeksi selebar 12 meter di bagian luarnya. Rencana itu artinya menggusur bangunan liar yang ada di sana. Namun kenyataannya rencana tersebut tak terlaksana.
Jarak aman Pada tahun 2009 Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu Prijanto menyebut, jarak aman ideal antara depo dan pemukiman adalah 200 meter. Artinya, permukiman yang berjarak sekitar 50 meter dari depo yang didiami 7.400 keluarga seharusnya dibiarkan kosong atau dijadikan ruang terbuka hijau. Dampak temuan bahan peledak di Tanah Merah pada tahun 2008, sebenarnya pernah diusulkan untuk membangun kanal pembatas selebar 30-50 meter mengelilingi depo serta jalan inspeksi selebar 12 meter di bagian luarnya. Rencana itu artinya menggusur bangunan liar yang ada di sana. Namun kenyataannya rencana tersebut tak terlaksana.